Kamis, 03 Oktober 2013

cerpen; Satu Kosong




Tapi dengan cara apapun sukses belum terlihat barang sedikit. Masih sama, cermin tetap lebar walaupun sepasang mata memelototinya untuk menyempit penuh tanda seru. Entah kali berapa aku berdiri membentak cermin untuk menyempitkan tubuh ketika aku tepat dimukanya. Seperti tak ada ketakutan sama sekali, tubuhnya semakin lebar menghadang marahku yang sedang beradu sebal. Tubuhku kecil sekali ditangkapnya. Sungguh tak tahu diuntung. Mungkin dadanya terlanjur membusung akibat ulahku terlalu sering menemuinya setiap kali.
Asa mulai tercemar, aku khawatir sebelum akhir dia sudah terkapar. Pertanyaanku semakin beranak-pinak, nihil jawaban, dan semakin menghujam kepalaku sewaktu mata memandang sekotak bingkai berfoto berbalut debu. Serupa anak kembar, dengan kuncir dua ciri khas  kanak-kanak. Itu saudara sepupu, tak ada kembar. Hanya pakaian kembar yang mendominasi, itupun disebabkan keanehan orang tua kami yang selalu membuatkan pakaian berseragam, aku yakin pakaian itu hanya ada dua didunia. Untukku, dan saudara sepupuku. Terkenang disemua foto kita berbaju kembar meskipun dulu sebenarnya aku sempat bosan. Apa filosofinya, hingga Sembilan belas tahun aku juga tak paham.
“ya bagus saja, biar akur.” kalimat ibu tak mampu mewakili penasaranku ketika aku menyerah memikirkan filosofi.
Kusudahi saja, waktuku sangat singkat untuk mendahulukan pertanyaan yang lebih pantas ditanyakan. Pikiranku masih dirunyamkan sebingkai foto tadi. Saudara sepupuku sekarang lebih pantas seperti aku didalam foto itu, dan aku seperti lebih pantas menjadi dirinya. Bukan masalah kembar dan wajah tertukar, tapi dunia memutarkan adegan terlalu bersemangat. Hingga semuanya terbalik. Pipi bakpao juga tubuh gembul milikku yang dulu sekarang hilang. Dan sekarang justru sepupuku memiliki pipi bakpao dan tubuhnya gembul sekali. Apa dia mencuri milikku? Wati, ya namanya wati. Apa Wati yang mencurinya?
Aku tidak lupa sedikitpun tentang julukan-julukan masa kecil. Masa dimana kita boleh bicara apa saja tanpa memikir dosa. Fatmawati satu-kosong. Apa aku perlu meminta jawaban pada ibu untuk membedakan antara keanehan dan keajaiban? Sembilan belas tahun tak kunjung menunjukkan aku cerdas. Tidak sekedar baju kembar yang membingungkan, nama “Fatmawati” menurutku lebih memeras otak. Untuk apa orang tuaku memberiku nama Fatma, dan orang tua sepupuku memberinya nama Wati. Jika dirangkai betapa hebatnya nama kami, Fatmawati. Seorang Ibu Negara bukan? Kalau aku tidak salah ingat pelajaran IPS kelas empat, beliau yang menjahit bendera merah putih. Memang aku sedang ingin tahu tentang sejarah, tapi bukan perihal kemerdekaan. Tentang namaku, nama sepupuku. Benarkah sebuah nama sebuah cerita? Aku harus tahu ceritanya. Mengapa nama sepupuku tidak yang lain saja, atau aku yang tidak bernama Fatma. Tentu tak satupun  menggabungkan nama kami semudah itu ketika menyapa. Atau jawaban ibu malah supaya saat kita bermain manggilnya bisa di jamak, ataukah jawaban klise biar akur, atau jangan-jangan agar kita berdua menjadi Ibu Negara. Harus berdua? Ya Tuhan, semoga semuanya tidak ada yang benar.
Satu-kosong. Telingaku sudah sangat tebal mendengarnya, tetapi Wati memutuskan untuk tuli saja. gemuk dan kurus ternyata tidak sebatas istilah, fakta mengatakannya sebuah masalah. Hidup memang terkadang lucu, seperti anak kecil tanpa beban teramat menggiurkan. Padahal jelas tak ada yang menyangkal jika aku mengatakannya tidak mungkin. Satu-kosong! Jangan dikira itu kata reporter pertandingan sepak bola. Itu julukan kami, Fatmawati satu-kosong! Kata anak-anak tak berwajah dosa. Dimana ada aku, disitu ada wati. Anak-anak berwajah tak berdosa memang berniat ramah, selalu melontarkan sapa. Cara menyapa kalian terlalu panjang, tidakkah satu-kosong kalian potong saja? protesku tercekat dipucuk kerongkongan.
Sejujurnya perubahan bukan alasan utama, karena sebenarnya sama. gemuk menjadi kurus, kurus menjadi gemuk. hanya terbalik. Orang-orang terlalu sadis mengatakan sebagai  ‘hanya’.  Batinku  tak sampai pikir mereka merasakan kalimat yang berubah wujud bom atom, siap menghancurkan perasaan. Perasaanku dan Wati. Meledak. Karena apa? Entah ada apa dengan Sembilan belas tahun, gemuk dan kurus yang saat kecil bagi kami adalah mainan, sekarang beralih makna menjadi beban.
“wuuuu krempeng mana kereeen.” Didalam cermin Wati mengomentariku bak juri Miss Word gadungan.
“tumbuh itu keatas, bukan kesamping!” gayaku tak kalah sombong dengan bintang iklan sebuah susu pertumbuhan yang pernah kulihat.
Sekarang empat mata memelototi cermin yang meskipun menyebalkan tetap saja kunobatkan sebagai barang berharga di kamar. Ingin ku pukul, mengatakan aku sedikit gemuk dan Wati sedikit langsing saja tidak becus. Sedikit, aku minta katakan sedikit tak usah banyak-banyak. Dasar cermin kikir, batinku.
Aku menyandar tepat menghadap bunga Melati kesayangan ibuku. Gerakannya mengangguk-angguk seperti minat menemani. Angkat kepala dan lihatlah ke atas. Ternyata hari selesai menelusuri matahari, senjapun kalah dipeluk takluk. Bintang gemintang memprovokasi seluruh alam meneriakkan tawa riang. Tapi tidak buatku, aku terlampau perhatian memusatkan seluruh syaraf pada bulan.
“hei langit, bagaimana bisa kau membungkus bulan begitu menawan? Apa kau tau caranya dari buku pintar? Buku apa?” kataku dalam hati namun sungguh percaya langit mendengarnya.
Segan berlama-lama aku mulai diserang gigil malam, dingin begitu meraja. Tahu sekali aku tak cukup bisa berlindung dengan gumpalan lemak, antusias udara menguasaiku. Ah mengganggu saja. cakapku pada bulan belum selesai, siapa tahu bulan membisikiku tentang bagaimana caranya gemuk. Ku tatapnya sekali lagi ada isyarat aku harus masuk rumah, teras tak punya niat menyamankan tubuhku.     
Tak ingin menganggurkan diri. Cara jitu menggemukkan badan. Enter. Aku mulai menerobos dingin malam dengan kehangatan tanpa perlu banyak lemak. Gemuk-kurus-gemuk-kurus selalu menjadi kalimat primadona hobi baruku, browsing. Sudah tiga belas file ku amakan, tak lupa informasi untuk Wati menyertai. Bagaimanapun Wati andil dalam sejarah ‘satu-kosong’ dan dengannya pula aku memulai perjuangan menyapu bersih ‘satu-kosong’ dalam kehidupan.
“dulu itu kau yang jadi satu, aku jadi nol. Tapi sekarang aku yang jadi satu kau yang jadi nol. Menurutmu ini takdir apa? Aku tak habis pikir.” Pembukaanku sebelum berunding tiga belas file tadi malam. 
“yang jadi pertanyaan kenapa masih ‘satu-kosong’ juga? Bukankah dunia sudah berubah?”
“walaupun aku kurus, aku tinggi. Itu jauh lebih berada di titik aman dibanding kau.” Kataku sok tenang.
“maksudmu?” Wati bersungut-sungut penuh curiga.
“kau tau tentang pertumbuhan? Seingatku pertumbuhan itu ada Pertumbuhan primer dan sekunder. Nah, tinggi itu pertumbuhan primer dan lebar itu pertumbuhan sekunder.” Tukasku mengenang Biologi.
“lalu?” tanda Tanya menggantung dijidatnya.
“orang yang tinggi, berarti pertumbuhan primernya sudah terpenuhi. Yang sekunder bisa dicapai kapan-kapan kan? Makanya orang gendut itu bisa kapan saja. sekarang coba bayangkan, apa tinggi bisa kapan-kapan? Tidak.”
Wush bantal melayang menimpuk wajahku yang penuh perjuangan tampil dengan kesan serius. “ah omong kosong!” mungkin Wati berfirasat jelek dengan kalimatku selanjutnya.
“hei aku belum selesai bicara. Aku Cuma berbagi pengetahuan.” Ku balas timpukan bantalnya.
“tinggi itu tidak bisa kapan-kapan. Harus sekarang, sebelum usia berkata ‘kesempatan tinggi anda sudah tidak aktif’” aku terpingkal melihat wajah Wati yang perlahan pucat pasi.
“tidak lucu! Kapan-kapan itu kapan? Kau juga tak kunjung gemuk kan? Sama saja.”
“hei, kan sudah ku bilang kap-pan-kap-pan! Hahaha”
Menjalankan misi tidak dapat ditunda lagi. Semua tips sebisa mungkin kami patuhi. Tak ada yang menyuruh, mungkin ini yang dinamakan ikhlas. Wati tergiur dengan obat pelangsing yang ditawarkan tetangga sebelah. Meskipun yang menawarkan badannya masih melebar kemana-mana Wati gampang sekali percaya. Kata-kataku yang kerap benar saja selalu ia salahkan. Pantas saja, Wati bukan Umar bin Khottob yang berjuluk AlFaruq, selalu bisa membedakan salah dan benar. Hahaha.
“jangan pakai obat pelangsing.” Kali ini aku benar-benar serius dengan sendirinya, tanpa ku buat-buat.
“tapi, t..”
“aku tidak bersedia bantu kalau terjadi sesuatu. Aku sudah mengingatkanmu. Masih ada banyak cara Watiiiii.” Pungkasku. Wati menurut begitu saja.
Sampai sekarang otakku tak bisa lepas dengan iklan di TV. Ku tahu sudah lama, tapi sekarang aku baru benar-benar merasa butuh memikirkannya. Iklan yang ku tonton ketika berusaha menghindari sinetron murahan itu memberi rangsangan kuat dalam memori otak. Sampai-sampai hati ikut-ikutan tersedak, apa benar iklan merasuk sampai hati? Entahlah. Di akhir iklan itu ku dengar ‘untuk mereka yang kurus’ kalau saja boleh usul aku akan berkata diksinya membuat telinga serasa mau copot. Kalaupun cuma telingaku yang merasa mau copot, aku tak peduli. Aku hanya usul. Diterima atau tidak, terserah. “untuk mereka yang ingin gemuk” bukankah terdengar lebih bersahabat?
Sebanyak apapun aku berkomentar, mau tidak mau aku membelinya. Susu untuk mereka yang kurus kata iklan. Harganya membuat aku mati-matian rajin menabung secara mendadak. Harapan satu-satunya susu itu memberi sedikit perubahan dan membuat cermin bertekuk lutut berkata aku sudah ada perubahan. sebenarnya ada lagi barang yang lebih ku benci selain cermin kikir itu, timbangan. Urung sekali aku menampangkannya. Malas, sungguh!
“berat badanku turun setengah kilo.” Kata Wati penuh kebanggaan.
“setengah kilo? Baru setengah kilo.” Jawabku remeh sembari bertanya pada diri sendiri apakah berat badanku sudah naik, meskipun Cuma setengh kilo. Aku tak yakin.
Perjuangan tetap perjuangan. Meskipun dengan ikhlas tetap saja hasil adalah keputusan besar Tuhan. Dari sana muncul cerita Wati sampai bolak-balik kamar mandi 13 kali tiap tengah malam. Efek hebat dari teh hijau yang diminumnya. Dan itu berlaku setiap hari. Aku hanya geleng-geleng, menunggu detik-detik mulut Wati berkata menyerah.
Porsi makan ditambahi, makanan berlemak, suplemen, kacang-kacangan, susu ini, susu itu, ah aku tak ada minat membahasnya. Sudah! Cukup! Terserah apa kata teori, dari profesor terhandal sedunia pun aku tak punya rasa ingin tahu. Terlalu mengumbar waktu. Aku sekarang punya kesimpulan baru, bahwa porsi makan adalah urusan porsi makan itu sendiri. Tidak ada hubungannya dengan gemuk. Dan gemuk juga urusan gemuk itu sendiri, tak ada sangkut pautnya dengan porsi makan. Tidak ada! Jadi tak usah menyiksa perut yang tanpa serep itu memuat makanan sebanyak yang orang-orang katakan. Secukupnya, sekali lagi secukupnya. Mau bukti? Wati yang segemuk itu porsi makannya jauh lebih sedikit dibanding aku. Lelahnya Wati jauh lebih lelah dibanding aku. Kenapa Wati gemuk? Kenapa aku kurus? Apa karena makan banyak? Istirahat banyak? Tidak kan?
Berbagai cara sudah kami lakukan dengan ikhlas bukan? Olahraga saja yang terpaksa. Banyak yang berkata aku dan Wati gagal lantaran tak ada perubahan. Ada perubahan, Wati semakin bulat semangka. Dan aku, sama, tetap, tidak berubah. Tidak ada kegagalan, ku kira belum waktunya. Itu saja.
“yang gemuk ingin kurus, yang kurus ingin gemuk. Dimanapun kapanpun manusia selalu merepotkan.” Mata ibu tak mengarah sedikitpun padaku, tapi aku tanggap sekali ibu sedang menyindir.
Saat itu aku mendengar cerita tentang tetangga dari tetangga. Tetangga sebelah rumah yang dulu menawari obat pelangsing Wati terlihat kurus, sangat kurus malah. Dan satu lagi, tidak sehat. Wati memelukku penuh terima kasih. Aku kaget bukan kepalang, khawatir Wati kerasukan jin jembatan seberang. Baru kali ini aku benar dimatanya.
“aku berjanji! kalau saja ada donor daging. Orang yang pertama ku donori kau Fat, sepertiga dari dagingku, kalau kurang bilang saja, ku tambah, kalau masih sisa sodaqohkan biar aku juga dapat pahala.” Wati memasang wajah dermawan terbaiknya edisi tahun ini.
Cepat saja ku bilang “gundulmu!” terbahak, tubuhnya yang lebar mengguncang ke kanan ke kiri, ke atas ke bawah. serasa bumi keberatan mendengar tawa. Mungkin dikira tawa gajah. kalau tidak, berarti tawa orang stress rangkap. hahaha
Lalu mau apa kalau aku tak juga berubah? Aku menemukan makna lain, hidup telah menemukan imanku, telah berbincang padanya bahwa dirinya sebuah anugerah. Kau tau apa yang harus kau lakukan terhadap anugerah? Bersyukur. Ya, bersyukur.
“ibu dulu juga kurus, sekarang tidak kan?” ibu mengaku orang-orang tak berani lagi menyebutnya kurus setelah menikah dengan bapak.
“tepat! Ini faktor keturunan. Boleh jadi aku akan seperti ibu.” Pekikku bahagia. Tetapi aku juga ingin tertawa. Menghibur diri.
Dddrrrr.. drrrtt.. satu pesan diterima. “fatmaaaaa ibuku marah aku terlalu gendut. Dulu aku sekurus kamu, sekarang aku segendut Wati. Mau makan ini itu selaluuuuuuuuu diomeli. hiks” Pesan singkat seorang teman yang mengkuadratkan syukurku. dunia selalu ada-ada saja. dalam kehidupan orang lainpun aku dan Wati masih juga bisa dihubung-hubungkan.
“semisal masih ada yang manggil satu-kosong gimana?”
“Goooooooooooooolllllll!!!” aku dan Wati serentak kembali terbahak.   

Al, Masihkah Engkau Mendengarku?



Sepertinya aku mulai mencintai malam. Berkelelawar seperti yang diibaratkan orang-orang dan suka sekali lelap meniduri siang. Tidak selalu, hanya sering. Kata matahari seluruh bumi sedang sibuk dengan urusannya sendiri, saat itu dunia sungguh acuh atau hanya sedang berpura-pura acuh, aku enggan memikirkannya. Yang jelas tidak satupun mempedulikanku, dan aku benci itu. Bisingnya membuat aku semakin ingin lari, segera. Apapun yang terjadi, siang selalu memasang wajah tak peduli, kalaupun peduli aku yakin dia sedang bohong. Hipokrit. Memutuskan membangun dunia sendiri dengan tidur selalu kujadikan pilihan terbaik dari yang terbaik. Siapa tahu, dengan tidur aku mendapat mimpi menjadi permaisuri raja yang selalu hidup bahagia. Hei bukankah itu lebih menyenangkan dari pada aku terus hidup mendengarkan kabar buruk dari matahari atau mengomeli siang yang tak peduli? Ya, meskipun aku paham itu mimpi belaka.
Malam selalu istimewa. Bukan berarti aku selalu bahagia dengannya. Hanya saja menurutku malam lebih berpelangi, tapi kalau kau Tanya dari mana ada pelangi? Aku pun tak tahu. Aku hanya memintamu mendengarkan ceritaku, aku malas berdebat. Kau tahu mengapa malam bagiku sangat indah? Karena disana tersimpan hening. Semuanya tenang, dan hal itu membuatku merasa dipedulikan. Aku bisa bercerita apa saja, juga mendengar apa saja, memikirkan apa saja. dua cicak yang berkejaran selalu mau mendengar ceritaku, sesekali pamer kalau mereka adalah pasangan yang romantis. Ah, tak apa. Semoga aku tidak iri pada cicak. Langit-langit kamar tanpa background bintang-bintang pun selalu menungguku bercerita dan tak pernah mengeluhkan bosan. Apalagi lampu antik yang kulupa umurnya itu, selalu menjadi yang paling setia sedunia. Indah, tenang, damai, itulah malam. Dan setiap malam otakku merasa lebih berisi. Aku juga heran, mengapa siang tadi rasanya otakku begitu bebal. Entahlah.
Kala itu seingatku malam sedang tidak dalam purnamanya, biasa saja. namun kata sepasang cicak sok romantis itu wajahku terlampau bahagia. Ada gerangan apakah? Aku mulai mengenalmu, dan kau ternyata salah satu dari golongan orang yang menyebalkan. Tidak serta merta aku menjudge seperti itu, perlu kau tahu itu hasil dari penelitianku satu minggu setelah aku mengenalmu. Tapi semenyebalkan apapun, kau tampak menyenangkan dengan tingkah aneh sekalipun. Bagaimana bisa? lucu sekali.
Lalu malam mulai sedikit berbeda, lebih pendek dari sebelumnya. Cepat larut seperti gula dalam secangkir teh panas dan pagi datang menikmati kepul harum yang menggoda. Tentunya karena kau, ada kau. “bolehkah aku kencan sebentar dengan adindaku?” pinta cicak yang sedikit memancing geli karena ke-sokromantisan-nya. Dengan sangat ikhlas aku mengangguk. “aku tidur dulu ya?” langit-langit kamar juga ikut-ikutan meninggalkanku. Dan lampu tua yang katanya paling setia itupun sudah khusyu’ memejamkan mata. Hah! Benar-benar tak tau diri. Lagi-lagi aku tak bisa marah. Mengapa? Karena masih ada kau. Sepertinya mereka merasakan kehadiranmu.
Barang canggih yang ku dambakan hanya satu, handphone. sepertinya aku miris menyebutnya canggih, butut sekali. Tidak masalah selama ceritaku dan ceritamu tertampung sempurna di handphone butut zaman mutakhir itu. Seharusnya kalimat butut tak perlu ku ucapkan berkali-kali ya? Iya-iya. Lupakan butut. Ada ritual yang tercipta begitu saja, memberi cerita dan menerima cerita. Bukan ritual seperti pitulasan yang dilakukan sebulan sekali, tapi ritual saban malam. Bercerita, apapun. Tapi aku tak punya ide cukup keren untuk memberi nama ritual itu. Yang penting kita sama-sama paham. Itu saja.
Berapa karakter sudah cerita yang kau kirim? Sungguh pertanyaan orang yang kurang kerjaan. Ku harap kau tak menghitungnya, menjawab dengan menyebut angka berarti kaupun masuk dalam nominasi orang kurang kerjaan. Dan jawabanmu ternyata “tak terhingga”. Kau memang paling bisa menyalahkan apa yang ku khawatirkan. Malam selalu bersahabat, seperti kau. Hingga pada akhirnya dia mengizinkan kita untuk benar-benar mengenal. Tetapi mengapa kau sering bercerita panjang lebar di malam hari? Apa kau merasakan tenang yang teramat sangat sepertiku? Kurasa begitu. Kau sang kelelawar hebat, aku yakin aku kalah telak.
“kita harus bersyukur karena setiap malam kita dianugerahkan kantuk. Selamat malam, semoga bisa tidur nyenyak,” kau masih ingat kalimat itu? Jika kau menjawab lupa aku bersedia menimpuk mukamu dan mengacak-acak rambutmu dengan garpu. Itu kalimat di penghujung cerita malam bukan? Tepatnya tengah malam. Aku ingat sekali, jadi tak ada kesempatan buatmu untuk menyalahkanku.  
Aku juga masih ingat ceritamu tentang peristiwa bangun kesiangan dan tidak ikut sholat id. Coba tanyakan orang sekampung pasti kau dibilang makhluk aneh. Hari raya sendiri tak sadar. Yang lain berbondong-bondong ke masjid kau malah terlelap bak di surga tanpa dosa. Begadang sampai jam berapa? Ternyata selama pelatihan jadi ‘alarm’ handal kau belum mampu membangunkan dirimu sendiri? Bukannya dulu kau selalu sukses membangunkanku? Kau memang aneh. Tapi tadi sudah ku bilang, kau tampak menyenangkan dengan tingkah aneh sekalipun. Dan aku percaya kau khilaf, tidak sengaja. Aku mengenalmu sebagai orang yang mengenal Tuhan. Al, sekarang aku jadi sok tahu segalanya tentang kau. Apakah benar aku setahu itu?   
Mulai kapan kita saling bercerita senyaman-nyamannya ternyata aku tak cukup cerdas untuk mengingat tanggal, bulan, dan tahunnya. Ceritamu terlalu banyak, mana sempat aku mengingat tanggal. Kau juga begitu kan? Ceritaku juga terbilang tak sedikit. Tenang, tanggal itu tak begitu penting untuk dimasukkan buku sejarah anak sekolah kok. Tak usah pikir pusing. Dari semua ceritamu ada satu yang ingin aku tanyakan. “Bagaimana sih ekspresimu saat nangis?” aku terbahak sekarang. Berani cerita harus berani memperagakan. Hanya kau lelaki yang mengaku menangis saat menangis.  Tidak seperti yang lain, sok tegar, gengsi. dimataku kau benar-benar orang yang tak mampu mengenal malu. Pejantan tangguh sekalipun punya perasaan bukan? Dan setiap orang berhak menangis. Namun aku berani taruhan, nyalimu terlalu ciut untuk menampilkan adegan dramatis itu dihadapanku. Maaf, aku menertawakanmu berkali-kali. Andai kau tahu tawaku itu bohong. justru aku yang ingin menangis. Aku takut kehilangan sesuatu.
Akhir-akhir ini aku resah. Kau tahu? Tidak, kau tidak tahu-menahu hal ini. Tapi kau tahu, aku selalu bercerita pada pendengar baik. Dan itu kau. Aku marah hebat dan sama sekali tak ingin mendengar suaramu saat kau menceritakan seseorang yang ku ketahui berjenis kelamin perempuan, dia bekas pacarmu. Aku mendengarnya seperti ada angin ribut yang meroboh-robohkan gendang telinga. Selama ini ceritamu ku nilai selalu bagus, tapi tidak untuk kali ini. Jelek, sangat jelek. Dan aku urung melanjutkan pembicaraan. aku putuskan untuk mematikan handphone, parahnya aku tak mampu mengucapkan pamit, dengan kalimat terpendek sekalipun. Kau pasti kelimpungan, aku tahu.
Menurut bisikan dukun tetangga aku sedang terbakar cemburu. Panas Al, membara. Tapi aku terlalu pengecut untuk mengakuinya. kejadian aku menutup telfon dengan cara tak wajar membuatmu sibuk meminta maaf. Tapi aku belum bisa menjelaskan sebuah jawaban ketika nanti kau Tanya aku kenapa. Itu pertanyaan rumit Al, beri aku waktu berfikir.
Saat dimana aku sangat membutuhkan pendengar selain kau, terasa sekali aku linglung. Tak ada arah yang ku toleh. Aku harus bagaimana? Kau terlanjur ku anggap bukan orang lain, kau sudah tahu semuanya tentang aku. Apa aku perlu mencari pendengar baik yang lain? Tidak, apapun masalahnya, kau harus tahu, aku harus bercerita, meskipun ini tentang perasaan yang aku sendiri tidak terlalu paham. Aku resah lagi, aku bingung bagaimana caranya bercerita yang baik dan benar. Ini luar biasa, aku takut habis kata. Tentang perasaan yang abstrak, yang paling membuatku sensitif dibanding apapun. “Aku sayang kau” , akhirnya kau tahu semuanya. Dadaku lega tak terkira, hingga saat itupun kau tak berubah julukan dari pendengar yang selalu baik. Bagiku ini bukan adegan memalukan, bukankah dulu Khodijah yang berkata cinta lebih awal kepada Muhammad? karena aku sadar kesempatanku bercerita tentang itu semakin sempit.
Sayang atau cinta menurut kebanyakan orang berbeda makna. Tapi tidak menurutku, bagiku sama, aku memilih diksi sayang karena alasan kenyamanan dimulutku. mereka saja yang mempersulit dengan mencari-cari perbedaannya. Setelah kau tahu, sama sekali aku tak menyuruhmu berkata-kata, menjawab tidak atau iya. Bukan, aku tak mengiginkan hal itu. Cukup sekedar kau tahu, jangan beri jawaban. Aku hanya ingin kita tetap bercerita.
Selega apapun aku tetap gelisah dengan peristiwa gelas pecah, aku khawatir suatu saat kita seperti gelas itu. Al, apa kau meresahkan hal itu juga? Ku ulangi lagi ini perihal paling sensitif bagiku dibanding apapun. Tiba-tiba dadaku sering sesak, perasaan itu semakin berani menantang, seperti akar yang memaksa muntah dari tanah dengan kekuatan maksimalnya. Aku kesakitan Al. aku menjadi cengeng, kau terasa jauh, dan makin jauh. “meskipun kau tidak menyukai siang, aku tetap harus berbincang tentang matahari. Matahari selalu bisa menyinari walaupun dengan jarak yang sangat jauh bukan? Jika terlalu dekat, maka yang terjadi matahari hanya menyakiti bumi.” Jujur aku bingung dengan rangkaian kalimatmu, apa maksudnya?
Galau, begitulah anak muda menamakan. Di zaman serba modern ini wabah galau sangat cepat menyerang dari satu tempat ke tempat lain. Sialnya aku kena. Kau tak ada kabar, aku tak yakin kau setega itu. Apa kau pikir dengan menghilang aku akan tenang? Tidak Al, sebaliknya. Aku galau, gundah gulana. Hal yang membuatku gelisah siang malam benar-benar terjadi. Kau berubah, kau tidak lagi menyalahkan kekhawatiranku seperti dulu. Kau juga tega membiarkan aku menangis tersedu. Aku ingin bercerita Al, kau dimana?
Enam bulan berlalu kau juga tak kembali. Aku berkali-kali menghubungimu tapi responmu acuh seperti siang, padahal kau mengerti aku tidak suka siang yang super acuh itu. Mengapa kau justru menirunya? Kau sengaja melakukannya? Air mataku semakin deras Al.
Tertatih, aku tak lagi punya cara. Aku minta maaf jika perasaan itu kau anggap sebuah kesalahan. Setidaknya, kau tak perlu pergi sejauh matahari. Aku membutuhkanmu, aku masih ingin mendengarmu, aku masih ingin kau dengar. Aku ingin kita tetap bercerita. Tepat sebelas bulan lebih empat hari setelah kau pamit ke bandung untuk melanjutkan studi kau benar-benar tak menanyakan kabarku lagi, sekalipun tak pernah. Dan sepertinya itu terlalu mudah kau lakukan, tidak seperti aku. Andai sebelum pergi kau memberiku cara bagaimana menghentikan air mata mungkin aku tak selemah ini. Ku kira air mata kepergianmu saat itu sudah cukup mewakili segalanya, ternyata tidak. Bertemu pun jarang sekali, kenapa aku tak mampu menahan bendungan air mata agar tidak tumpah ketika melihatmu pergi? Aku juga tak mengerti, mungkin saja perasaanku terlalu jujur.
Al, begitu sulit ku temukan radarmu. Air mataku mulai kering, rinduku mengeluh lelah, ceritaku tercecer berserakan. Jika memang kau tak akan kembali, do’aku selalu mengiringimu, semoga kau baik-baik saja. semenyebalkan apapun kau, tak pernah mengukir cela dihidupku. Terima kasih atas kesempatan malam-malam lalu dan mengenalmu hingga aku menjadi sok tahu tentang segala hal. Andaipun Tuhan memberiku kesempatan untuk bertemu denganmu sekali saja, aku memintamu untuk mendoakan kesembuhanku. Aku ingat kau pernah berkata do’a akan mengalahkan apapun bukan? Terhitung Sembilan hari aku terbaring di tempat mengerikan bernama rumah sakit ini, kau tahu Al, aku tidak tahan baunya. Siang dan malam terasa sama, tidak menyenangkan seperti dulu. Memang aku dulu belum sempat bercerita tentang penyakit ganas ini, aku tak ingin kau cerewet menasihatiku ini itu. Tetapi aku baru sadar aku ingin bercerita saat kau tak lagi bersedia 24 jam seperti yang sudah-sudah. Tak perlu ku jelaskan tentang penyakit apa, mulutku berat sekali mengucapkannya. Toh kau juga tak disini. Jadi tak perlu aku menghabiskan waktu untuk menyebut penyakit mengerikan itu. Al, sudah tak mampu lagi aku menggambarkan bagaimana rasanya kesepian hingga saat ini. Setiap hari aku berdoa kau datang menjengukku tanpa aku memberitahumu. Mustahil. Aku merasakan sakit sekali Al, aku ingin segera pergi dari sini. Mungkin disana aku akan lebih tenang. Sekali lagi maafkan aku, aku terlalu bodoh untuk mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Dengan ataupun tanpa kesempatan kita untuk bertemu, berjanjilah untuk selalu mendo’akanku. Aku butuh doamu. Itu saja Al, tidak lebih. Aku tahu aku bukan pendengar yang baik, segera temukan pendengar terbaik ya, jangan seperti aku. Manja, cengeng, seperti anak kecil katamu.  Al, sekarang dadaku sesak sekali, pandanganku kabur, semuanya terasa sakit. Tetapi kenapa aku merasa kau ada di dekat sini? Apa Tuhan mengabulkan do’aku untuk bertemu denganmu? Aku semakin merasakanmu Al. bukankah orang yang sedang berjalan di depan pintu itu kau? Entahlah. Semuanya menjadi gelap sebelum aku menemukan jawaban. Jika orang itu benar kau, aku bisa menebak kau tak akan menangis, nyalimu terlalu ciut untuk menangis didepanku kan? Aku saja yang menangis, tak perlu kau meniruku. Selamat tinggal Al, Alan yang aneh dan selalu menyebalkan.      



Gelang, Perempuan, dan Spiritualitas.



Gelang hampir selalu hadir dalam tubuh, meski jarang ditafsir. Gelang dipakai penuh pamrih dan niat tapi kerap luput dari perhatian, sebab hampir selalu melekat. Gelang menyimpan tafsir da;n tragedi. Gelang hadir sebagai ikhtiar estetisisasi tubuh dalam pertaruhan kultural, seksualitas, spiritualitas, sosial dan ekonomi.
Gelang memiliki pamrih estetis. Aksesoris yang mempermanis penampilan tangan ini memiliki berbagai jenis bahan dan design. Bentuknya semakin variatif dan lebih fleksibel digunakan dalam berbagai kesempatan. Gelang memberi nuansa indah, penampilan yang sempurna, dan unik. Jelas saja, gelang digandrungi oleh kaum perempuan di seluruh penjuru dunia.
Perempuan identik dengan perhiasan. Keberadaan gelang yang merata di semua kalangan memberi peluang para perempuan untuk memenuhi kecantikan personal agar lebih Fashionable. Perhiasan dan penampilan menawan menjadi kebutuhan absurd bagi perempuan, khususnya mereka yang benar-benar menyandang pengikut sejati fashion. Jika ditelaah lebih lanjut, gelang tidak hanya sekedar aksesoris yang dipakai ditangan dan selesai sudah. Gelang selain menyita materi, juga menyita waktu. Pertimbangan tentang kesesuaian gelang dan segala aspek yang menunjang penampilan seperti gelang dan warna kulit, gelang dan model baju, gelang dan karakter pemakai sangat menghabiskan bayak waktu sehingga urusan yang lebih penting menjadi tersisihkan. Rasanya gelang merupakan sesuatu yang membutuhkan perhatian khusus, ribet sekali.
Semakin beragamnya jenis bahan dan motif membawa gelang pada suatu pergeseran gaya hidup, dimana gelang bukan sekedar perhiasan, tetapi penjelas identitas diri. Gelang memberi dampak pada strata sosial yang tidak terelakkan. Perempuan miskin dan perempuan kaya, kedua-duanya dapat memakai gelang. Bedanya, perempuan kaya mempunyai prioritas glamour, dan elegan. Bahan gelang harus berkualitas, berlapis emas atau berlian berapa karat menjadi pertimbangan nomor satu dalam suatu rancangan. Dengan memilih jenis bahan bernilai tinggi seolah gelang mampu menyampaikan bahwa pemakainya adalah golongan kaya. Semakin tinggi derajatnya, semakin mewah pula gelang yag dipakai. Sedang perempuan miskin adalah mereka yang tidak cukup mumpuni kriteria tersebut.
Zaman dahulu, manusia sudah mengenal gelang. Gelang muncul sekitar 3500 tahun silam. Gelang bisa terbuat dari apa saja, seperti tali, pengikat rambut, akar-akar, atau apa saja yag mudah didapatkan. Gelang difungsikan sebagai alat pengenal suatu kelompok. Gelang menjadi benda penting yang mampu mengikat orang banyak pada sebuah persatuan.
Yunani dan mesir kuno menggunakan benda bernama gelang itu sebagai aksesoris pelengkap perhiasan kerajaan. Sama halnya di Afrika, gelang dimanfaatkan oleh seorang kepala suku sebagai simbol keagungan dan kekuasaan. gelang memiliki arti besar sebagai penjelas kasta suatu golongan.
Demikian spesial keberadaan gelang. Namun dari sekian banyak makna dan fungsinya, gelang dapat menjadi penyebab kriminalitas. Gaya hidup yang bermewah-mewahan dan penampilan yang terkesan berlebihan megundang para pelaku kriminal untuk melanggar hukum.  Pencopetan, perampokan, penjambretan semakin marak.
Gelang juga menyimpan kisah tragis, W.S Rendra dalam puisinya yang berjudul “perjalanan Bu Aminah” menceritakan tentang gelang yang dijadikan sebagai pemuas seksual semata.

Majikan besar memberimu hadiah
Sepasang giwang, kalung dan gelang
Katanya sebagai penghargaan
Untuk kepribadianmu yang jelas dan tegas.

Salah satu penggalan puisi tersebut menceritakan tentang seorang perempuan pekerja yang mendapat iming-iming perhiasan dari majikannya, harga yang terlalu murah untuk prinsip hidup dan harga diri yang tak ternilai.
Spiritualitas
Galang menemukan relasi spiritualitas jika dikaitkan dengan isu soal keberlimpahan materi bahkan menjadi salah satu tanda kiamat. Dalam tradisi Islam, muslim dilarang berlebihan dan suka pamer. Berlebihan dan suka pamer adalah perbuatan setan. Perbuatan orang-orang yang sombong dan membanggakan diri. Pamer dapat menimbulkan sifat iri dan dengki, dari hal itu akan muncul dorongan untuk saling bersaing dalam hal materi dengan cara yang tidak sehat. Kemungkinan besar perpecahan semakin terbuka lebar. Sedangkan dalam ajaran islam, sesama muslim adalah saudara.      
Dalam dalil lain disebutkan salah satu tanda datangnya kiamat adalah banyaknya lelaki yang menyerupai perempuan dan perempuan menyerupai laki-laki. Gelang yang telah menyimbolkan identitas perempuan menjadi perdebatan ketika kaum laki-laki juga banyak yang memakainya. Pada awal munculnya gelang, tidak ada perbedaan tentang siapa pemakainya. Laki-laki dan perempuan mempunyai hak sama untuk memakai gelang. Hanya saja dalam perkembangannya, design gelang menjadi bermacam-macam dan terkesan feminin. Sejak itu kaum laki-laki meninggalkan gelang dengan alasan tidak ingin terlihat feminin. Berangkat dari cerita tersebut, rata-rata pemakai gelang adalah kaum perempuan.
Di sisi lain gelang memberikan suatu kepercayaan tertentu tentang penyelamatan diri, perlindungan diri. Konon jika seseorang menggunakan gelang tertentu akan lebih beruntung dibanding mereka yang tidak memakai apapun ditangannya. Hal ini banyak sekali ditemukan di Indonesia, hingga tidak sedikit yang menggunakan gelang sebagai jimat atau benda sakral.
Membidik Negara lain tentang hal ini, penduduk Amerika Latin mempercayai bahwa gelang yang digunakan pada lengan bayi, akan melindungi bayi mereka dari setan dan roh jahat. Kemudian penduduk di Asia dan Eropa meyakini jika gelang bisa melindungi seseorang dari kesialan.