Tapi dengan cara apapun sukses belum
terlihat barang sedikit. Masih sama, cermin tetap lebar walaupun sepasang mata memelototinya
untuk menyempit penuh tanda seru. Entah kali berapa aku berdiri membentak
cermin untuk menyempitkan tubuh ketika aku tepat dimukanya. Seperti tak ada
ketakutan sama sekali, tubuhnya semakin lebar menghadang marahku yang sedang beradu
sebal. Tubuhku kecil sekali ditangkapnya. Sungguh tak tahu diuntung. Mungkin
dadanya terlanjur membusung akibat ulahku terlalu sering menemuinya setiap
kali.
Asa mulai tercemar, aku khawatir sebelum
akhir dia sudah terkapar. Pertanyaanku semakin beranak-pinak, nihil jawaban,
dan semakin menghujam kepalaku sewaktu mata memandang sekotak bingkai berfoto
berbalut debu. Serupa anak kembar, dengan kuncir dua ciri khas kanak-kanak. Itu saudara sepupu, tak ada
kembar. Hanya pakaian kembar yang mendominasi, itupun disebabkan keanehan orang
tua kami yang selalu membuatkan pakaian berseragam, aku yakin pakaian itu hanya
ada dua didunia. Untukku, dan saudara sepupuku. Terkenang disemua foto kita
berbaju kembar meskipun dulu sebenarnya aku sempat bosan. Apa filosofinya,
hingga Sembilan belas tahun aku juga tak paham.
“ya bagus saja, biar akur.” kalimat ibu
tak mampu mewakili penasaranku ketika aku menyerah memikirkan filosofi.
Kusudahi saja, waktuku sangat singkat
untuk mendahulukan pertanyaan yang lebih pantas ditanyakan. Pikiranku masih dirunyamkan
sebingkai foto tadi. Saudara sepupuku sekarang lebih pantas seperti aku didalam
foto itu, dan aku seperti lebih pantas menjadi dirinya. Bukan masalah kembar
dan wajah tertukar, tapi dunia memutarkan adegan terlalu bersemangat. Hingga semuanya
terbalik. Pipi bakpao juga tubuh gembul milikku yang dulu sekarang hilang. Dan
sekarang justru sepupuku memiliki pipi bakpao dan tubuhnya gembul sekali. Apa
dia mencuri milikku? Wati, ya namanya wati. Apa Wati yang mencurinya?
Aku tidak lupa sedikitpun tentang
julukan-julukan masa kecil. Masa dimana kita boleh bicara apa saja tanpa
memikir dosa. Fatmawati satu-kosong. Apa aku perlu meminta jawaban pada ibu
untuk membedakan antara keanehan dan keajaiban? Sembilan belas tahun tak kunjung
menunjukkan aku cerdas. Tidak sekedar baju kembar yang membingungkan, nama
“Fatmawati” menurutku lebih memeras otak. Untuk apa orang tuaku memberiku nama
Fatma, dan orang tua sepupuku memberinya nama Wati. Jika dirangkai betapa
hebatnya nama kami, Fatmawati. Seorang Ibu Negara bukan? Kalau aku tidak salah
ingat pelajaran IPS kelas empat, beliau yang menjahit bendera merah putih. Memang
aku sedang ingin tahu tentang sejarah, tapi bukan perihal kemerdekaan. Tentang
namaku, nama sepupuku. Benarkah sebuah nama sebuah cerita? Aku harus tahu
ceritanya. Mengapa nama sepupuku tidak yang lain saja, atau aku yang tidak
bernama Fatma. Tentu tak satupun menggabungkan nama kami semudah itu ketika
menyapa. Atau jawaban ibu malah supaya saat kita bermain manggilnya bisa di
jamak, ataukah jawaban klise biar akur, atau jangan-jangan agar kita berdua menjadi
Ibu Negara. Harus berdua? Ya Tuhan, semoga semuanya tidak ada yang benar.
Satu-kosong. Telingaku sudah sangat tebal
mendengarnya, tetapi Wati memutuskan untuk tuli saja. gemuk dan kurus ternyata
tidak sebatas istilah, fakta mengatakannya sebuah masalah. Hidup memang
terkadang lucu, seperti anak kecil tanpa beban teramat menggiurkan. Padahal jelas
tak ada yang menyangkal jika aku mengatakannya tidak mungkin. Satu-kosong!
Jangan dikira itu kata reporter pertandingan sepak bola. Itu julukan kami,
Fatmawati satu-kosong! Kata anak-anak tak berwajah dosa. Dimana ada aku, disitu
ada wati. Anak-anak berwajah tak berdosa memang berniat ramah, selalu
melontarkan sapa. Cara menyapa kalian terlalu panjang, tidakkah satu-kosong
kalian potong saja? protesku tercekat dipucuk kerongkongan.
Sejujurnya perubahan bukan alasan utama,
karena sebenarnya sama. gemuk menjadi kurus, kurus menjadi gemuk. hanya
terbalik. Orang-orang terlalu sadis mengatakan sebagai ‘hanya’. Batinku tak sampai pikir mereka merasakan kalimat yang
berubah wujud bom atom, siap menghancurkan perasaan. Perasaanku dan Wati.
Meledak. Karena apa? Entah ada apa dengan Sembilan belas tahun, gemuk dan kurus
yang saat kecil bagi kami adalah mainan, sekarang beralih makna menjadi beban.
“wuuuu krempeng mana kereeen.” Didalam
cermin Wati mengomentariku bak juri Miss Word gadungan.
“tumbuh itu keatas, bukan kesamping!”
gayaku tak kalah sombong dengan bintang iklan sebuah susu pertumbuhan yang
pernah kulihat.
Sekarang empat mata memelototi cermin
yang meskipun menyebalkan tetap saja kunobatkan sebagai barang berharga di
kamar. Ingin ku pukul, mengatakan aku sedikit gemuk dan Wati sedikit langsing
saja tidak becus. Sedikit, aku minta katakan sedikit tak usah banyak-banyak.
Dasar cermin kikir, batinku.
Aku menyandar tepat menghadap bunga
Melati kesayangan ibuku. Gerakannya mengangguk-angguk seperti minat menemani. Angkat
kepala dan lihatlah ke atas. Ternyata hari selesai menelusuri matahari,
senjapun kalah dipeluk takluk. Bintang gemintang memprovokasi seluruh alam
meneriakkan tawa riang. Tapi tidak buatku, aku terlampau perhatian memusatkan
seluruh syaraf pada bulan.
“hei langit, bagaimana bisa kau
membungkus bulan begitu menawan? Apa kau tau caranya dari buku pintar? Buku
apa?” kataku dalam hati namun sungguh percaya langit mendengarnya.
Segan berlama-lama aku mulai diserang
gigil malam, dingin begitu meraja. Tahu sekali aku tak cukup bisa berlindung
dengan gumpalan lemak, antusias udara menguasaiku. Ah mengganggu saja. cakapku
pada bulan belum selesai, siapa tahu bulan membisikiku tentang bagaimana caranya
gemuk. Ku tatapnya sekali lagi ada isyarat aku harus masuk rumah, teras tak
punya niat menyamankan tubuhku.
Tak ingin menganggurkan diri. Cara jitu
menggemukkan badan. Enter. Aku mulai menerobos dingin malam dengan kehangatan
tanpa perlu banyak lemak. Gemuk-kurus-gemuk-kurus selalu menjadi kalimat
primadona hobi baruku, browsing. Sudah tiga belas file ku amakan, tak lupa
informasi untuk Wati menyertai. Bagaimanapun Wati andil dalam sejarah
‘satu-kosong’ dan dengannya pula aku memulai perjuangan menyapu bersih
‘satu-kosong’ dalam kehidupan.
“dulu itu kau yang jadi satu, aku jadi
nol. Tapi sekarang aku yang jadi satu kau yang jadi nol. Menurutmu ini takdir
apa? Aku tak habis pikir.” Pembukaanku sebelum berunding tiga belas file tadi
malam.
“yang jadi pertanyaan kenapa masih
‘satu-kosong’ juga? Bukankah dunia sudah berubah?”
“walaupun aku kurus, aku tinggi. Itu jauh
lebih berada di titik aman dibanding kau.” Kataku sok tenang.
“maksudmu?” Wati bersungut-sungut penuh
curiga.
“kau tau tentang pertumbuhan? Seingatku
pertumbuhan itu ada Pertumbuhan primer dan sekunder. Nah, tinggi itu
pertumbuhan primer dan lebar itu pertumbuhan sekunder.” Tukasku mengenang
Biologi.
“lalu?” tanda Tanya menggantung
dijidatnya.
“orang yang tinggi, berarti pertumbuhan
primernya sudah terpenuhi. Yang sekunder bisa dicapai kapan-kapan kan? Makanya
orang gendut itu bisa kapan saja. sekarang coba bayangkan, apa tinggi bisa
kapan-kapan? Tidak.”
Wush bantal melayang menimpuk wajahku
yang penuh perjuangan tampil dengan kesan serius. “ah omong kosong!” mungkin
Wati berfirasat jelek dengan kalimatku selanjutnya.
“hei aku belum selesai bicara. Aku Cuma
berbagi pengetahuan.” Ku balas timpukan bantalnya.
“tinggi itu tidak bisa kapan-kapan. Harus
sekarang, sebelum usia berkata ‘kesempatan tinggi anda sudah tidak aktif’” aku
terpingkal melihat wajah Wati yang perlahan pucat pasi.
“tidak lucu! Kapan-kapan itu kapan? Kau
juga tak kunjung gemuk kan? Sama saja.”
“hei, kan sudah ku bilang
kap-pan-kap-pan! Hahaha”
Menjalankan misi tidak dapat ditunda
lagi. Semua tips sebisa mungkin kami patuhi. Tak ada yang menyuruh, mungkin ini
yang dinamakan ikhlas. Wati tergiur dengan obat pelangsing yang ditawarkan
tetangga sebelah. Meskipun yang menawarkan badannya masih melebar kemana-mana
Wati gampang sekali percaya. Kata-kataku yang kerap benar saja selalu ia
salahkan. Pantas saja, Wati bukan Umar bin Khottob yang berjuluk AlFaruq,
selalu bisa membedakan salah dan benar. Hahaha.
“jangan pakai obat pelangsing.” Kali ini
aku benar-benar serius dengan sendirinya, tanpa ku buat-buat.
“tapi, t..”
“aku tidak bersedia bantu kalau terjadi
sesuatu. Aku sudah mengingatkanmu. Masih ada banyak cara Watiiiii.” Pungkasku. Wati
menurut begitu saja.
Sampai sekarang otakku tak bisa lepas
dengan iklan di TV. Ku tahu sudah lama, tapi sekarang aku baru benar-benar
merasa butuh memikirkannya. Iklan yang ku tonton ketika berusaha menghindari
sinetron murahan itu memberi rangsangan kuat dalam memori otak. Sampai-sampai
hati ikut-ikutan tersedak, apa benar iklan merasuk sampai hati? Entahlah. Di
akhir iklan itu ku dengar ‘untuk mereka yang kurus’ kalau saja boleh usul aku
akan berkata diksinya membuat telinga serasa mau copot. Kalaupun cuma telingaku
yang merasa mau copot, aku tak peduli. Aku hanya usul. Diterima atau tidak,
terserah. “untuk mereka yang ingin gemuk” bukankah terdengar lebih bersahabat?
Sebanyak apapun aku berkomentar, mau
tidak mau aku membelinya. Susu untuk mereka yang kurus kata iklan. Harganya
membuat aku mati-matian rajin menabung secara mendadak. Harapan satu-satunya
susu itu memberi sedikit perubahan dan membuat cermin bertekuk lutut berkata
aku sudah ada perubahan. sebenarnya ada lagi barang yang lebih ku benci selain
cermin kikir itu, timbangan. Urung sekali aku menampangkannya. Malas, sungguh!
“berat badanku turun setengah kilo.” Kata
Wati penuh kebanggaan.
“setengah kilo? Baru setengah kilo.” Jawabku
remeh sembari bertanya pada diri sendiri apakah berat badanku sudah naik,
meskipun Cuma setengh kilo. Aku tak yakin.
Perjuangan tetap perjuangan. Meskipun
dengan ikhlas tetap saja hasil adalah keputusan besar Tuhan. Dari sana muncul
cerita Wati sampai bolak-balik kamar mandi 13 kali tiap tengah malam. Efek hebat
dari teh hijau yang diminumnya. Dan itu berlaku setiap hari. Aku hanya geleng-geleng,
menunggu detik-detik mulut Wati berkata menyerah.
Porsi makan ditambahi, makanan berlemak,
suplemen, kacang-kacangan, susu ini, susu itu, ah aku tak ada minat
membahasnya. Sudah! Cukup! Terserah apa kata teori, dari profesor terhandal
sedunia pun aku tak punya rasa ingin tahu. Terlalu mengumbar waktu. Aku
sekarang punya kesimpulan baru, bahwa porsi makan adalah urusan porsi makan itu
sendiri. Tidak ada hubungannya dengan gemuk. Dan gemuk juga urusan gemuk itu
sendiri, tak ada sangkut pautnya dengan porsi makan. Tidak ada! Jadi tak usah
menyiksa perut yang tanpa serep itu memuat makanan sebanyak yang orang-orang
katakan. Secukupnya, sekali lagi secukupnya. Mau bukti? Wati yang segemuk itu
porsi makannya jauh lebih sedikit dibanding aku. Lelahnya Wati jauh lebih lelah
dibanding aku. Kenapa Wati gemuk? Kenapa aku kurus? Apa karena makan banyak? Istirahat
banyak? Tidak kan?
Berbagai cara sudah kami lakukan dengan
ikhlas bukan? Olahraga saja yang terpaksa. Banyak yang berkata aku dan Wati gagal
lantaran tak ada perubahan. Ada perubahan, Wati semakin bulat semangka. Dan
aku, sama, tetap, tidak berubah. Tidak ada kegagalan, ku kira belum waktunya.
Itu saja.
“yang gemuk ingin kurus, yang kurus ingin
gemuk. Dimanapun kapanpun manusia selalu merepotkan.” Mata ibu tak mengarah
sedikitpun padaku, tapi aku tanggap sekali ibu sedang menyindir.
Saat itu aku mendengar cerita tentang
tetangga dari tetangga. Tetangga sebelah rumah yang dulu menawari obat
pelangsing Wati terlihat kurus, sangat kurus malah. Dan satu lagi, tidak sehat.
Wati memelukku penuh terima kasih. Aku kaget bukan kepalang, khawatir Wati
kerasukan jin jembatan seberang. Baru kali ini aku benar dimatanya.
“aku berjanji! kalau saja ada donor
daging. Orang yang pertama ku donori kau Fat, sepertiga dari dagingku, kalau
kurang bilang saja, ku tambah, kalau masih sisa sodaqohkan biar aku juga dapat
pahala.” Wati memasang wajah dermawan terbaiknya edisi tahun ini.
Cepat saja ku bilang “gundulmu!”
terbahak, tubuhnya yang lebar mengguncang ke kanan ke kiri, ke atas ke bawah. serasa
bumi keberatan mendengar tawa. Mungkin dikira tawa gajah. kalau tidak, berarti tawa
orang stress rangkap. hahaha
Lalu mau apa kalau aku tak juga berubah?
Aku menemukan makna lain, hidup telah menemukan imanku, telah berbincang
padanya bahwa dirinya sebuah anugerah. Kau tau apa yang harus kau lakukan
terhadap anugerah? Bersyukur. Ya, bersyukur.
“ibu dulu juga kurus, sekarang tidak
kan?” ibu mengaku orang-orang tak berani lagi menyebutnya kurus setelah menikah
dengan bapak.
“tepat! Ini faktor keturunan. Boleh jadi
aku akan seperti ibu.” Pekikku bahagia. Tetapi aku juga ingin tertawa.
Menghibur diri.
Dddrrrr.. drrrtt.. satu pesan diterima.
“fatmaaaaa ibuku marah aku terlalu gendut. Dulu aku sekurus kamu, sekarang aku
segendut Wati. Mau makan ini itu selaluuuuuuuuu diomeli. hiks” Pesan singkat
seorang teman yang mengkuadratkan syukurku. dunia selalu ada-ada saja. dalam
kehidupan orang lainpun aku dan Wati masih juga bisa dihubung-hubungkan.
“semisal masih ada yang manggil satu-kosong
gimana?”
“Goooooooooooooolllllll!!!” aku dan Wati
serentak kembali terbahak.